catatan-catatan kecil dari skenarioNYA untuk saya, Senja terakhir di ufuk barat.. sebuah kebahagian dua orang insan. Pelangi terakhir di ufuk timur.. sebuah senyuman pada bibir pantai.. (Alter ego, Senjanis Fhaula)
Kamis, 19 November 2015
Ketika
Aroma hujan bahkan masih pekat
juga tanah yang masih lekat
tapi malam belum juga hangat
padahal sunyi sudah kembali mendekat
"lalu aku memotong kuku jari mu
lalu aku ambilkan pakaian mu
lalu aku merapikan rambut mu
lalu aku buatkan sarapan mu
lalu aku siapkan sepatu mu
lalu aku bereskan barang-barang mu\
lalu aku mengantar mu
lalu aku mencium tangan mu
lalu....
aku ingin menunggu mu
aku ingin mencium tangan mu
aku ingin menyambut mu
aku ingin membawakan makan malam mu
aku ingin... ingin pantas untuk itu."
Aroma hujan bahkan makin pekat
juga tanah yang makin lekat
tapi malam belum juga jadi hangat
padahal sunyi hampir dekat
Bandung, 2015
Senin, 27 Juli 2015
Sebab, Aku, Jatuh
Sebab aku
tidak pernah memilih untuk terjatuh
Sebab jatuh
bukan pilihan
Sebab terjatuh,
aku tak bisa apa-apa
Sebab itu
aku terjatuh
Sebab itu
tanpa alasan
Sebab terjatuh
aku tidak bisa memilih, kebahagiaan atau pesakitan
Sebab terjatuh,
aku merelakan keduanya. Sebab semuanya bukan pilihan
Sebab itu
terjadi. Sebab itu aku mensyukuri
Sebab itu
aku ikhlas, atas jatuhnya aku padamu
Sebab aku
pun tak tahu, apa jatuh benar jatuh. Atau jatuh karena sebab
Sebab seharusnya
tak memiliki sebab, sebab seharusnya jatuh karena seharusnya
Sebab aku
pun manusia
Sebab itu
aku berpikir
Sebab nurani
ku tidak mati
Sebab hatiku
tak cacat
Sebab mataku
tak tuli
Sebab telingaku
tak buta
Sebab itu
aku menyakini, bahwa sebab keputusanNya aku jatuh..
Sebab itu
aku berterima, kebahagiaan atau pesakitan
Sebab aku
merelakan jatuhnya aku pada insanNya
Sebab itu
aku tak memiliki sebab, karena sebab itu dariNya
Sebab itu
sekarang aku berserah, karena aku telah jatuh.
Sebab itu
aku menulisnya, sebab aku tak bisa berkata, sebab aku hanya merasa, sebab aku
menyimpannya erat
Sebab itu
aku mendoakan yang terbaik, sebab kini aku kembali jatuh...
[Sebab aku
menyambut suka, duka, mungkin juga luka.]
Bumi Siliwangi, 18.00 WIB
Senin, 27 Juli 2015
~Senjanis Fhaula~
Selasa, 12 Mei 2015
Sedaun kata
: Tuan yang Menikmati Purnama
Ini kata kutulis di sore hari
Untuk tuan yang gemar berkata
dengan enggan menyisipi makna
dan sekarang, tuan ada dimana?
Ini kata ditulis gadis dengan bergerumun rasa
dari gerimis taman lara
yang menyimak kata dengan muatan makna
dan sekarang, gadis ada dimana?
Ini kata titipan Tuhan
dengan rasa dan makna yang lenyap di kata
agar tak bergunjing satu sama rasa
Saling membantai luka, mengkhianati makna
Ini jalanan dengan kata yang buta makna
Itu tuan di atas kata
Dan gadis terjepit makna
Tuan dan Gadis yang beradu kata
juga memupuk makna
Apakah mereka di cinta Tuhan?
Bandung, 2015
Ini kata kutulis di sore hari
Untuk tuan yang gemar berkata
dengan enggan menyisipi makna
dan sekarang, tuan ada dimana?
Ini kata ditulis gadis dengan bergerumun rasa
dari gerimis taman lara
yang menyimak kata dengan muatan makna
dan sekarang, gadis ada dimana?
Ini kata titipan Tuhan
dengan rasa dan makna yang lenyap di kata
agar tak bergunjing satu sama rasa
Saling membantai luka, mengkhianati makna
Ini jalanan dengan kata yang buta makna
Itu tuan di atas kata
Dan gadis terjepit makna
Tuan dan Gadis yang beradu kata
juga memupuk makna
Apakah mereka di cinta Tuhan?
Bandung, 2015
Sabtu, 02 Mei 2015
Sebelum aku melepaskan hujan dikepalan tangan~
Pikiran yang kabur membawaku pada hati seorang yang sempat lebur. Melangkahnya ia dari lumpur, dengan jejak yang aku menjadi saksinya. Bunga yang tergenggam hari ini adalah tanda keberkahan bagi sepasang mata yang menatap dua pasang mata dan dua pasang mata yang menatap sepasang mata.
Tuan, jika memang tuan ingin mengadu keluh akan rasa yang bertarung keruh di setiap bilik jantungmu, silahkan. Tapi, untuk mengadu keluh dengan menghadapkannya pada sebuah bilik-bilik jantung baru, sangat aku sayangkan. Bukan aku lancang menasihati atau memberi rambu hati-hati pada hati, aku menyanyangkan karena ketakutanku akan bilik jantung tuan yang semakin lama semakin rapuh karena keluh yang tak pernah mau luluh akan bilik-bilik jantung yang baru. Tuan, saya adalah saksi jejak perjalananmu di rel yang berkarat. aku memang selalu duduk di stasiun, sekalipun aku tidak melangkahkan kaki untuk beranjak dari stasiun tempat kau meninggalkanku dengan setumpuk koper yang penuh dengan waktu. Aku memang anak dengan kaos biru tua yang senang sekali duduk di bangku stasiun menunggu keretamu dengan penumang yang berganti di setiap perlintasannya. aku duduk, lalu menulis bukan menangis. Sekali lagi aku tak menangis ! aku memang tak akan pernah menangis tuan, aku juga tak akan pernah bisa melihat tuan berpuisi diatas tangisan tuan. Lebih baik aku memakan kembali tangisan, daripada harus menyaksikan seorang yang menangis dalam puisi.
Tuan, aku akan bisa selalu baik-baik saja. Walau kekhawatiranku pada bilik jantung tuan masih belum bisa selalu dibuat baik-baik saja.
Langganan:
Postingan (Atom)