Sabtu, 02 Mei 2015

Sebelum aku melepaskan hujan dikepalan tangan~

Pikiran yang kabur membawaku pada hati seorang yang sempat lebur. Melangkahnya ia dari lumpur, dengan jejak yang aku menjadi saksinya. Bunga yang tergenggam hari ini adalah tanda keberkahan bagi sepasang mata yang menatap dua pasang mata dan dua pasang mata yang menatap sepasang mata. 



Tuan, jika memang tuan  ingin mengadu keluh akan rasa yang bertarung keruh di setiap bilik jantungmu, silahkan. Tapi, untuk mengadu keluh dengan menghadapkannya pada sebuah bilik-bilik jantung baru, sangat aku sayangkan. Bukan aku lancang menasihati atau memberi rambu hati-hati pada hati, aku menyanyangkan karena ketakutanku akan bilik jantung tuan yang semakin lama semakin rapuh karena keluh yang tak pernah mau luluh akan bilik-bilik jantung yang baru. Tuan, saya adalah saksi jejak perjalananmu di rel yang berkarat. aku memang selalu duduk di stasiun, sekalipun aku tidak melangkahkan kaki untuk beranjak dari stasiun tempat kau meninggalkanku dengan setumpuk koper yang penuh dengan waktu. Aku memang anak dengan kaos biru tua yang senang sekali duduk di bangku stasiun menunggu keretamu dengan penumang yang berganti di setiap perlintasannya. aku duduk, lalu menulis bukan menangis. Sekali lagi aku tak menangis ! aku memang tak akan pernah menangis tuan, aku juga tak akan pernah bisa melihat tuan berpuisi diatas tangisan tuan. Lebih baik aku memakan kembali tangisan, daripada harus menyaksikan seorang yang menangis dalam puisi.

Tuan, aku akan bisa selalu baik-baik saja. Walau kekhawatiranku pada bilik jantung tuan masih belum bisa selalu dibuat baik-baik saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar